Era delapanpuluhan adalah era di mana sebagian besar orang berfokus pada Kebijakan Pemerintah dalam Orde Baru yang disebut Repelita dan Pelita (Pembangunan Lima Tahun), dan memang generasi yang lahir di masa itu adalah generasi keemasan bangsa Indonesia (dari segi kemapanan dan wibawa bangsa ini), swasembada beras, lapangan kerja sangat bagus, USD cuma Rp. 2000,- an, dan sangat ditakuti rezim saat itu, dengan cengkeramannya yang dibuat sedemikian rupa sehingga kita sebagai rakyat tidak merasa dibodohi dan dicengkeram, tapi hanya sering bertanya betapa orang yang suka bersuara lantang (vokal), sebentar saja lenyap dari peredaran dan tidak pernah kembali, kabarnya tentu diculik secara misterius atau meninggal secara aneh, dan memang saat itu begitu bengis pemerintah dengan orang-orang yang tidak sependapat dengan kebijakannya. Lain era delapanpuluhan lain pula era sembilanpuluhan, dimana gejala untuk adanya reformasi sudah mengembrio, semula diam seribu bahasa, lama kelamaan timbul riak-riak ketidak senangan dengan status quo, dan puncaknya tahun 1997-1998, terjadi reformasi yang memecah kebuntuan bangsa ini, berharap terlalu banyak dari kran yang "jebol", sehingga mulut-mulut yang tadinya digembok dan dibungkam, bisa bersuara lantang, dan karena dalam tempo lama kita tidak pernah berdiskusi, berdebat dalam "perbedaan" maka kita semua seperti seekor burung yang lepas dari sangkarnya, terasa sangat bebas tetapi tidak bisa dan tidak terbiasa dengan keadaan yang jelas sangat berbeda - dari rezim diktator yang mengatur segala gerak, tingkahlaku bahkan ucapan - menjadi rezim yang relatif egaliter, pro demokrasi, bebas berserikat dan berkumpul menyampaikan pendapat - sehingga kita jadi orang yang "limbung" terbangun dari mimpi yang panjang, mimpi buruk yang menjadikan kita menjadi bodoh dan terbelakang, dan hasilnya adalah krisis yang berkepanjangan hingga sekarang, padahal tujuan reformasi adalah jelas dan tidak seperti sekarang ini, USD jadi nilai dengan batas psikis Rp. 10.000,- an. Dan sekarang akan semakin menjadi "kelam" urusan perkembang reformasi yang dicetuskan sepuluh tahun yang lalu, adakah dihati kita terketuk untuk memulai era reformasi sesungguhnya ? Jangan hanya berkata dan menghujat serta memvonis orang lain tidak sejalan dengan reformasi tetapi kita menjadi orang yang tetap berada dalam "status quo" yang baru "pasca reformasi"..... kapan kita terbangun dari tidur panjang yang kedua ini, apakah sebagai bangsa kita tidak pernah mau belajar dari kegagalan yang berulang?
Solusi yang paling tepat adalah bagaimana kita membangkitkan kembali semangat reformasi dengan perencanaan dan pelaksanaan yang tertata dan terencana dengan determinasi tinggi untuk melakukan semua tahap perencanaan tersebut, bukan menggantungkan diri sepenuhnya kepada negara atau instansi bangsa lain (baca : AS dan IMF), dan bagi pemerintah seharusnya memilih menteri yang pro reformasi dan mau berpihak kepada rakyat, untuk presiden jangan menjadi boneka dari negara lain (semua kebijakan harus mendapat restu dari negara lain dan merupakan intervensi pihak asing - sungguh pengecut dan memalukan). Dan sebagai rakyat kita akan selalu taat dan kritis bila tingkah polah pemerintah akan membahayakan bangsa ini kembali. Karena kalau kita terjerembab sekali lagi ke dalam krisis akan semakin terpuruk dan jauh lebih dalam, dengan solusi yang makan waktu lebih lama lagi. Sebenarnya keruntuhan AS merupakan tunggak bagi kita untuk memulai era reformasi baru, sedemikian rupa jadi kita sesekali tidak menjadi boneka AS, mengapa negara yang merdeka harus "menjadikan dirinya suboordinat" dari negeri yang sedang hancur semacam AS ? Kita tidak membenci AS, tetapi dengan melepaskan pengaruh mereka sedikit demi sedikit maka saya yakin kita akan terlepas dari belenggu "penjajahan AS dan IMF" ini. Putuskan hutang-hutang ke IMF, jangan jadi sapi perahan "lintah darat tingkat global" itu. Dan itu semua perlu keberanian ekstra ? Yang jadi pertanyaan siapakah yang akan memulainya ? Para pemimpin kita bukan orang yang terpercaya untuk masalah ini, apakah kita harus "impor" orang luar negeri untuk menjadi pejabat di negeri ini ? Tidak mungkin bukan ? Hati nurani dan nyali pejabat yang sholehlah yang akan membawa bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik, dan semua tahu apa maknanya itu...
Depok 1 Nopember 2008
Solusi yang paling tepat adalah bagaimana kita membangkitkan kembali semangat reformasi dengan perencanaan dan pelaksanaan yang tertata dan terencana dengan determinasi tinggi untuk melakukan semua tahap perencanaan tersebut, bukan menggantungkan diri sepenuhnya kepada negara atau instansi bangsa lain (baca : AS dan IMF), dan bagi pemerintah seharusnya memilih menteri yang pro reformasi dan mau berpihak kepada rakyat, untuk presiden jangan menjadi boneka dari negara lain (semua kebijakan harus mendapat restu dari negara lain dan merupakan intervensi pihak asing - sungguh pengecut dan memalukan). Dan sebagai rakyat kita akan selalu taat dan kritis bila tingkah polah pemerintah akan membahayakan bangsa ini kembali. Karena kalau kita terjerembab sekali lagi ke dalam krisis akan semakin terpuruk dan jauh lebih dalam, dengan solusi yang makan waktu lebih lama lagi. Sebenarnya keruntuhan AS merupakan tunggak bagi kita untuk memulai era reformasi baru, sedemikian rupa jadi kita sesekali tidak menjadi boneka AS, mengapa negara yang merdeka harus "menjadikan dirinya suboordinat" dari negeri yang sedang hancur semacam AS ? Kita tidak membenci AS, tetapi dengan melepaskan pengaruh mereka sedikit demi sedikit maka saya yakin kita akan terlepas dari belenggu "penjajahan AS dan IMF" ini. Putuskan hutang-hutang ke IMF, jangan jadi sapi perahan "lintah darat tingkat global" itu. Dan itu semua perlu keberanian ekstra ? Yang jadi pertanyaan siapakah yang akan memulainya ? Para pemimpin kita bukan orang yang terpercaya untuk masalah ini, apakah kita harus "impor" orang luar negeri untuk menjadi pejabat di negeri ini ? Tidak mungkin bukan ? Hati nurani dan nyali pejabat yang sholehlah yang akan membawa bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik, dan semua tahu apa maknanya itu...
Depok 1 Nopember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar