Karena manusia dilahirkan semuanya fitrah, suci dari dosa, dan berpotensi besar menjadi orang yang takwa (akhlak mulia, baik hati dan sederet kebaikan lainnya serta tidak lupa dengan Allah SWT yang telah menciptakannya). dan berpotensi negatif menjadi orang yang rusak akhlak dan moralnya (lawannya takwa). Pendidikan formal kita (baca: Indonesia) memang mencerdaskan orang Indonesia tapi dengan melihat kondisi yang ada sekarang, saya jadi tidak yakin dengan moral dan akhlak yang ada pada hasil didikan (output), terutama setelah pendidikan kita tidak lagi diisi dengan kurikulum yang mengedepakan contoh/suri tauladan dari para pendidiknya. Kalau dalam sebutan saya, kurikulum sekarang adalah mencerdaskan anak didik tetapi miskin pendidikan moral apalagi suri tauladan yang diberikan si pendidik kepada murid/anak didik ataupun dosen kepada para mahasiswanya. Semua jauh sekali dari apa yang disebut sebagai tamat sekolah dan tamat kuliah menjadi orang yang cerdas sekaligus berperilaku/moral yang santun. Bukan tidak ada yang demikian akan tetapi sebagian besar keluaran/tamatan dari sekolah dan perguruan tinggi kita hanya menyasar segi kecerdasan kognitif, bukan kecerdasan sosial ataupun kecerdasan emosi. Sehingga bisa ditebak bagaimana mereka begitu, karena kurikulum pendidikan yang mengajarkan demikian. Para pengajar sekarang tidak lebih daripada pentransfer ilmu pengetahuan, melakukan pengajaran bukan pendidikan. Perbedaan mendasar pengajaran dan pendidikan adalah dalam hal melakukan contoh, artinya seorang pengajar tidak secara langsung/implisit sebagai contoh bagi orang yang diajarkan ilmu olehnya. Akan tetapi seorang pendidik adalah disamping sebagai pengajar dia haruslah menjadi contoh anak didiknya. Lebih menyeluruh menjadi seorang pendidik daripada seorang pengajar. Pendidik seperti mentransfer dan menduplikasi dirinya kepada orang yang dididiknya. Terutama soal moral seperti yang kita bicarakan saat ini.
ANAK JAMAN DULU DENGAN ANAK JAMAN SEKARANG BERBEDA
Saya sering ngobrol dengan teman yang sebaya atau yang sedikit lebih di atas saya, umur paruh baya belum menjelang senja. Bahwa anak-anak sekarang kalau diberi pengertian biasanya kritis, kalau dimarahi harus ada alasannya, kalau diperintah kadang malas bahkan tidak mau, kalau orang tua berbicara sekali mereka malah sudah membantah sepuluh duapuluh kali. Mereka anak-anak sekarang tidak takut kepada orang tuanya, tidak seperti kami yang lahir di masa Orde lama atau Orde baru. Boleh dikatakan anak jaman dulu "takut dan sangat segan" kepada orang tua, terutama bapak, apalagi bapak yang galak. Jangankan membantah, bila diperintah selalu kita laksanakan, tidak bertanya dulu laksanakan dan sudah. Menurut saya peran orang tua jaman dulu ya memang harus begitu, membuat anak taat dan segan, bahkan menurut saya itulah yang terbaik jaman itu. Dan sayangnya diterapkan jaman sekarang (orang sekarang kadang menyebut sebagai Zaman Now), kebiasaan yang dilakukan jaman dulu - walaupun itu cocok dan pas di jaman dulu - tidak lagi bisa dilakukan seperti itu. Anak-anak milenial selalu saja kalau diperintah oleh bapaknya sekalipun terkadang bertanya terlebih dahulu, bahkan ada yang minta imbalan untuk sekedar diperintah oleh bapaknya untuk membelikan kopi saschet ke warung misalnya. Atau bila kita marahi mereka kadang bukan saja diam tapi bisa menjawab apa yang kita sampaikan dalam keadaan marah tersebut, tidak ada takut-takutnya sama sekali kepada orang tua. Nah, menghadapi keadaan yang demikian memang tidak mudah bagi kita yang lahir di jaman yang berbeda dari anak-anak kita tersebut. Itulah mengapa mendidik anak untuk menjadi orang yang baik, pandai, pemberani dan pemurah adalah hal yang sangat sulit. Kalau mendidik anak mudah tentulah tidak diperlukan lembaga pendidikan anak dan sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Sulit mendidik anak menjadi anak yang takwa, cerdas dan trampil - slogan sekolah dasar tahun 80-90 an dulu - sebuah kenyataan tapi bukan berarti tidak bisa. Nah salah satu untuk mengurangi beban orang tua dalam membentuk dan mendidik anak maka di sekolah dan lembaga pendidikanlah anak-anak kita dibentuk. Tetap pendidik utama adalah orang tua dan pendidik yang paling utama dan pertama adalah ibu-ibu kemudian bapak dan keluarga yang lain barulah ke lembaga pendikan dan kemudian masyarakat pada umumnya. Disinilah yang saya khawatirkan dan di banyak kesempatan saya selalu mempersoalkannya, yaitu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang sering kita sebut sebagai sekolah (lembaga pendidikan formal) yang mana petunjuk pelaksanaan dari pendidika itu disebut sebagai kurikulum. Karena saya menilai kurikulum di bangsa kita ini miskin dengan pembentukan ahlak, semata untuk mencerdaskan anak sampai dengan mahasiswa tanpa membesarkan jiwa dan kepribadiannya. Saya memang hanya bisa mengkritisi kurikulum yang berlaku di Indonesia ini, tanpa solusi, tapi setidaknya bisa saya memberikan gambaran seperti di atas bahwa kurikulum kita termasuk ke dalam kurikulum jaman dulu (zaman old) yang menghasilkan orang cerdas tapi manusianya tetap kecil, bukan menghasilkan orang besar yang mumpuni, Kurikulum kita menghasilkan orang dengan jiwa bekerja untuk orang lain, dengan kata lain kalau tidak menjadi PNS ya menjadi buruh. Itu harus kita cermati. PNS dan buruh pekerjaan mulia, tapi bukan itu yang saya maksudkan, artinya untuk apa sekolah tinggi-tinggi terakhir hanya menjadi PNS dan buruh saja ? Ya memang bukan sesuatu yang buruk akan tetapi, bagaimana membuat kurikulum yang membesarkan jiwa dan membesarkan pribadi anak didik dan mahasiswa kita. Menjadi pemimpin dan pengusaha, ilmuwan yang bisa menemukan penemuan mutakhir dan paling penting dari semua itu adalah berakhlak baik. Saya sebagai anak Indonesia generasi awal tahun 80 an, memang berpikir lurus-lurus saja, generasi kami kalau ditanya kalau besar mau jadi apa ? Jawabannya terlalu banyak yang menjadi Dokter (karena melihat dokter sangat mudah mencari uang yang besar dan terlihat mudah), Pegawai Bank (karena jaman itu terlihat trendy dan banyak duit duduk di kantor bank), PNS (karena relatif aman dalam hidupnya kerja teratur dan dapat pensiunan), jarang sekali yang bercita-cita ingin menjadi pengusaha atau minimal pedagang. Maka dalam penjurusan pun kami memilih penjurusan di bidang IPA (paspal/eksata) bukan SOSIAL ataupun BAHASA, padahal itu semua membuat sebuah ketimpangan di 20 tahun ke depan. Membuat orang-orang pintar secara akademik (masuk ke jurusan IPA memang harus bernilai akademik baik dibandingan SOSIAL jaman itu entahlah kalau sekarang), hanya berada si satu jalur saja yaitu IPA/EKSATA hampir tidak ada di jalur SOSIAL (bukan berarti anak-anak SOSIAL itu tidak pandai dan cerdas, akan tetapi gambaran yang ada waktu itu adalah seperti itu, masuk jurusan IPA pasti orangnya cerdas, matematikanya bagus, dan sebaliknya kalau dianggap tidak mampu masuk jurusan IPA ya masuklah ke jurusan SOS), sehingga yang dianggap cemerlang hanya ada dijalur IPA saja ke dunia nyata pun demikian. Ekonom yang sangat cerdas memilih dari dini untuk terjun di bidang ekonomi (kalau penjurusan di SMA/SMU adalah di jurusan SOS), maka akan sangat bersaing bangsa kita hari ini. Saya tidak mengatakan ekonom kita tidak cerdas dan pandai, hanya saja JUMLAH dari mereka seandainya jaman saya dulu, banyak berpikir di luar kebiasaan (out-of-the box) yakni biarpun bisa masuk jurusan IPA tapi karena memang ingin membersarkan jiwa dan kepribadian di jalur SOS (ekonomi dan bahasa), maka sebagian besar anak-anak IPA masuk ke SOS, dan BIBIT ekonom jaman itu akan membawa dampak yang berbeda dari yang ada sekarang ini. Itu belum terlambat, seandainya ada yang mau memperbaiki kurikulum kita itu. Kurikulum yang saya sering katakan belum sempurna menjadikan bangsa ini melahirkan orang-orang besar dan berakhlak tinggi. Walaupun tidak semua tamatan dulu adalah koruptor akan tetapi bisa dilihat hasil pendidikan dan kurikulum jaman dulu pada para pejabat dan wakil rakyat jaman sekarang. Orang pandai dengan minim ahlak dan budi pekerti yang luhur akan membuat dia lebih berbahaya daripada orang tidak cerdas tapi berakhlak baik. Kurikulum yang sangat krusial adalah pendidikan dasar dan menengah, karena mereka masih masa pembentukan karakter, kalau perguruan tinggi karakter anak relatif sudah jadi. Memang tidak ada yang sempurna, tapi jangan membiarkan ketidaksempurnaan dan kekurangan itu terus belangsung. Moral bangsa kita yang terpuruk saat ini - moral untuk menang dalam persaingan dunia internasional, moral menjalani proses, moral untuk ulet, moral untuk menjadi pengusaha, moral untuk berakhlak baik dan moral untuk mempertahankan bangsa yang besar ini - sudah seharusnya menjadi perhatian pemegang amanah negeri ini, pejabat dan wakil rakyat dan para pendidik (guru bangsa) dan ubahlah kurikulum yang menjadikan sudut pandang lulusan pendidikan bangsa ini menjadi orang kecil, orang bermental kecil, orang tidak jujur, orang cerdas tapi hampa dalam kehidupan masyarakat, orang bejiwa pekerja tanpa ingin menjadi pengusaha, orang berjiwa ingin dapat pensiunan di hari tua dan lainnya. Sudut pandang yang mengharuskan orang dengan nilai akademik bagus harus ke jurusan IPA, ganti menteri ganti kurikulum dan segala bukti dari salahnya kurikulum bangsa Indonesia ini menjadi tertinggal bahkan dari negara-negara ASEAN.
MORAL ANAK BANGSA YANG TERPURUK
Tentu menyakitkan hati saya juga saya menuliskan hal ini. Karena pada kenyataannya tidak semua anak bangsa bermoral terpuruk bukan ? Kalau kita melihat secara personal tentu saja iya. Akan tetapi bila kita melihat bangsa ini secara keseluruhan tulisan pahit saya itu adalah sebuah kenyataan dan fakta. Dan sekali lagi saya pun trenyuh prihatin dengan keadaan yang ada ini. Moral yang saya maksudkan tentu saja bukan moral dan akhlak yang bejad bukan, tetapi moral dan spirit kebangsaan kitalah yang harus dipompa dan digelorakan kembali. Menjadikan mental generasi penerus kita adalah generasi dengan mental pemenang yang berakhlak mulia. Terpuruknya mental dan moral bangsa ini jelas bukan karena faktor internal saja akan tetapi faktor eksternal - seperti persaingan global, liberalisme, materialisme dan bahkan imperialisme dalam waktu sekarang - yang jelas sangat berat kalau cara mengatasi masalahnya adalah dengan cara yang sama. Mencari bibit unggul dari bijinya, mencari bibit unggul manusia Indonesia dari pendidikan dasarnya, jangan semua anak didik yang pintar dan cerdas hanya untuk menjadi orang yang eksak saja, berikan kepada anak didik pengertian bahwa persaingan di masa depan dengan bangsa lain akan jauh lebih kompleks bukan sekedar orang cerdas dan terampil saja yang akan bisa memenangi pertarungan dunia internasional tersebut, akan tetapi kecerdasan sosial - diplomasi, adaptasi dan akhlak - juga akan memberikan nilai yang tidak kalah jauh dari kecerdasan yang selama ini diinput ke dalam mindset anak didik kita, yaitu kecerdasan kognitif semata. Harapan sebagai orang tua dan sebagai warga negara tentunya pemerintah segera memperhatikan hal ini, karena mau tidak mau tongkat estafet kepemimpinan dan pengelolaan negara ini akan jatuh ke generasi berikutnya, kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi. Pertama dan ini mungkin saran kecil dari saya agar mencari bibit unggul manusia Indonesia itu dimulai dari penyempurnaan kurikulum yang ada, kalau perlu penggantian yang drastis dari kurikulum yang ada sekarang, tambahkan dan perbanyak pendidikan agama dan akhlak/budi pekerti di dalamnya, dan kualitas guru tentu perlu peningkatan dari sekedar pengajar menjadi seorang pendidik yang sejati. Satu lagi pemberian hukuman fisik kepada anak didik jangan dijadikan sebuah pelanggaran HAM seperti sekarang ini, sebatas masih dalam hukuman yang mendidik - dijewer, diomelin, distrap yang tidak membahayakan fisik dan jelas para pendidik tahu batasannya - jangan seperti sekarang dilaporkan ke pihak berwajib. Jelas akan menjadikan anak didik menjadi tidak menghargai guru, aturan sekolah dan berbagai hal positif lainnya. Menjewer dan menghukumnya guru bukan seperti menghukumnya pihak berwajib kepada pencuri ayam, itu beda sekali, menghukumnya pendidik adalah bentuk dari pendidikan itu sendiri dan dilakukan dengan kasih sayang dalam bentuk lain. Untuk bekal kepada para anak didik di masa depan. Saya meyakini hal tersebut. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kita semua, sebatas inilah saya bisa memberi sumbangan pemikiran, adapun kalau ada yang lebih baik dan lebih canggih silahkan beri masukan kepada pemerintah untuk kelangsungan cermerlangnya mental dan moral anak bangsa di masa depan.
Terima kasih.
ANAK JAMAN DULU DENGAN ANAK JAMAN SEKARANG BERBEDA
Saya sering ngobrol dengan teman yang sebaya atau yang sedikit lebih di atas saya, umur paruh baya belum menjelang senja. Bahwa anak-anak sekarang kalau diberi pengertian biasanya kritis, kalau dimarahi harus ada alasannya, kalau diperintah kadang malas bahkan tidak mau, kalau orang tua berbicara sekali mereka malah sudah membantah sepuluh duapuluh kali. Mereka anak-anak sekarang tidak takut kepada orang tuanya, tidak seperti kami yang lahir di masa Orde lama atau Orde baru. Boleh dikatakan anak jaman dulu "takut dan sangat segan" kepada orang tua, terutama bapak, apalagi bapak yang galak. Jangankan membantah, bila diperintah selalu kita laksanakan, tidak bertanya dulu laksanakan dan sudah. Menurut saya peran orang tua jaman dulu ya memang harus begitu, membuat anak taat dan segan, bahkan menurut saya itulah yang terbaik jaman itu. Dan sayangnya diterapkan jaman sekarang (orang sekarang kadang menyebut sebagai Zaman Now), kebiasaan yang dilakukan jaman dulu - walaupun itu cocok dan pas di jaman dulu - tidak lagi bisa dilakukan seperti itu. Anak-anak milenial selalu saja kalau diperintah oleh bapaknya sekalipun terkadang bertanya terlebih dahulu, bahkan ada yang minta imbalan untuk sekedar diperintah oleh bapaknya untuk membelikan kopi saschet ke warung misalnya. Atau bila kita marahi mereka kadang bukan saja diam tapi bisa menjawab apa yang kita sampaikan dalam keadaan marah tersebut, tidak ada takut-takutnya sama sekali kepada orang tua. Nah, menghadapi keadaan yang demikian memang tidak mudah bagi kita yang lahir di jaman yang berbeda dari anak-anak kita tersebut. Itulah mengapa mendidik anak untuk menjadi orang yang baik, pandai, pemberani dan pemurah adalah hal yang sangat sulit. Kalau mendidik anak mudah tentulah tidak diperlukan lembaga pendidikan anak dan sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Sulit mendidik anak menjadi anak yang takwa, cerdas dan trampil - slogan sekolah dasar tahun 80-90 an dulu - sebuah kenyataan tapi bukan berarti tidak bisa. Nah salah satu untuk mengurangi beban orang tua dalam membentuk dan mendidik anak maka di sekolah dan lembaga pendidikanlah anak-anak kita dibentuk. Tetap pendidik utama adalah orang tua dan pendidik yang paling utama dan pertama adalah ibu-ibu kemudian bapak dan keluarga yang lain barulah ke lembaga pendikan dan kemudian masyarakat pada umumnya. Disinilah yang saya khawatirkan dan di banyak kesempatan saya selalu mempersoalkannya, yaitu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang sering kita sebut sebagai sekolah (lembaga pendidikan formal) yang mana petunjuk pelaksanaan dari pendidika itu disebut sebagai kurikulum. Karena saya menilai kurikulum di bangsa kita ini miskin dengan pembentukan ahlak, semata untuk mencerdaskan anak sampai dengan mahasiswa tanpa membesarkan jiwa dan kepribadiannya. Saya memang hanya bisa mengkritisi kurikulum yang berlaku di Indonesia ini, tanpa solusi, tapi setidaknya bisa saya memberikan gambaran seperti di atas bahwa kurikulum kita termasuk ke dalam kurikulum jaman dulu (zaman old) yang menghasilkan orang cerdas tapi manusianya tetap kecil, bukan menghasilkan orang besar yang mumpuni, Kurikulum kita menghasilkan orang dengan jiwa bekerja untuk orang lain, dengan kata lain kalau tidak menjadi PNS ya menjadi buruh. Itu harus kita cermati. PNS dan buruh pekerjaan mulia, tapi bukan itu yang saya maksudkan, artinya untuk apa sekolah tinggi-tinggi terakhir hanya menjadi PNS dan buruh saja ? Ya memang bukan sesuatu yang buruk akan tetapi, bagaimana membuat kurikulum yang membesarkan jiwa dan membesarkan pribadi anak didik dan mahasiswa kita. Menjadi pemimpin dan pengusaha, ilmuwan yang bisa menemukan penemuan mutakhir dan paling penting dari semua itu adalah berakhlak baik. Saya sebagai anak Indonesia generasi awal tahun 80 an, memang berpikir lurus-lurus saja, generasi kami kalau ditanya kalau besar mau jadi apa ? Jawabannya terlalu banyak yang menjadi Dokter (karena melihat dokter sangat mudah mencari uang yang besar dan terlihat mudah), Pegawai Bank (karena jaman itu terlihat trendy dan banyak duit duduk di kantor bank), PNS (karena relatif aman dalam hidupnya kerja teratur dan dapat pensiunan), jarang sekali yang bercita-cita ingin menjadi pengusaha atau minimal pedagang. Maka dalam penjurusan pun kami memilih penjurusan di bidang IPA (paspal/eksata) bukan SOSIAL ataupun BAHASA, padahal itu semua membuat sebuah ketimpangan di 20 tahun ke depan. Membuat orang-orang pintar secara akademik (masuk ke jurusan IPA memang harus bernilai akademik baik dibandingan SOSIAL jaman itu entahlah kalau sekarang), hanya berada si satu jalur saja yaitu IPA/EKSATA hampir tidak ada di jalur SOSIAL (bukan berarti anak-anak SOSIAL itu tidak pandai dan cerdas, akan tetapi gambaran yang ada waktu itu adalah seperti itu, masuk jurusan IPA pasti orangnya cerdas, matematikanya bagus, dan sebaliknya kalau dianggap tidak mampu masuk jurusan IPA ya masuklah ke jurusan SOS), sehingga yang dianggap cemerlang hanya ada dijalur IPA saja ke dunia nyata pun demikian. Ekonom yang sangat cerdas memilih dari dini untuk terjun di bidang ekonomi (kalau penjurusan di SMA/SMU adalah di jurusan SOS), maka akan sangat bersaing bangsa kita hari ini. Saya tidak mengatakan ekonom kita tidak cerdas dan pandai, hanya saja JUMLAH dari mereka seandainya jaman saya dulu, banyak berpikir di luar kebiasaan (out-of-the box) yakni biarpun bisa masuk jurusan IPA tapi karena memang ingin membersarkan jiwa dan kepribadian di jalur SOS (ekonomi dan bahasa), maka sebagian besar anak-anak IPA masuk ke SOS, dan BIBIT ekonom jaman itu akan membawa dampak yang berbeda dari yang ada sekarang ini. Itu belum terlambat, seandainya ada yang mau memperbaiki kurikulum kita itu. Kurikulum yang saya sering katakan belum sempurna menjadikan bangsa ini melahirkan orang-orang besar dan berakhlak tinggi. Walaupun tidak semua tamatan dulu adalah koruptor akan tetapi bisa dilihat hasil pendidikan dan kurikulum jaman dulu pada para pejabat dan wakil rakyat jaman sekarang. Orang pandai dengan minim ahlak dan budi pekerti yang luhur akan membuat dia lebih berbahaya daripada orang tidak cerdas tapi berakhlak baik. Kurikulum yang sangat krusial adalah pendidikan dasar dan menengah, karena mereka masih masa pembentukan karakter, kalau perguruan tinggi karakter anak relatif sudah jadi. Memang tidak ada yang sempurna, tapi jangan membiarkan ketidaksempurnaan dan kekurangan itu terus belangsung. Moral bangsa kita yang terpuruk saat ini - moral untuk menang dalam persaingan dunia internasional, moral menjalani proses, moral untuk ulet, moral untuk menjadi pengusaha, moral untuk berakhlak baik dan moral untuk mempertahankan bangsa yang besar ini - sudah seharusnya menjadi perhatian pemegang amanah negeri ini, pejabat dan wakil rakyat dan para pendidik (guru bangsa) dan ubahlah kurikulum yang menjadikan sudut pandang lulusan pendidikan bangsa ini menjadi orang kecil, orang bermental kecil, orang tidak jujur, orang cerdas tapi hampa dalam kehidupan masyarakat, orang bejiwa pekerja tanpa ingin menjadi pengusaha, orang berjiwa ingin dapat pensiunan di hari tua dan lainnya. Sudut pandang yang mengharuskan orang dengan nilai akademik bagus harus ke jurusan IPA, ganti menteri ganti kurikulum dan segala bukti dari salahnya kurikulum bangsa Indonesia ini menjadi tertinggal bahkan dari negara-negara ASEAN.
MORAL ANAK BANGSA YANG TERPURUK
Tentu menyakitkan hati saya juga saya menuliskan hal ini. Karena pada kenyataannya tidak semua anak bangsa bermoral terpuruk bukan ? Kalau kita melihat secara personal tentu saja iya. Akan tetapi bila kita melihat bangsa ini secara keseluruhan tulisan pahit saya itu adalah sebuah kenyataan dan fakta. Dan sekali lagi saya pun trenyuh prihatin dengan keadaan yang ada ini. Moral yang saya maksudkan tentu saja bukan moral dan akhlak yang bejad bukan, tetapi moral dan spirit kebangsaan kitalah yang harus dipompa dan digelorakan kembali. Menjadikan mental generasi penerus kita adalah generasi dengan mental pemenang yang berakhlak mulia. Terpuruknya mental dan moral bangsa ini jelas bukan karena faktor internal saja akan tetapi faktor eksternal - seperti persaingan global, liberalisme, materialisme dan bahkan imperialisme dalam waktu sekarang - yang jelas sangat berat kalau cara mengatasi masalahnya adalah dengan cara yang sama. Mencari bibit unggul dari bijinya, mencari bibit unggul manusia Indonesia dari pendidikan dasarnya, jangan semua anak didik yang pintar dan cerdas hanya untuk menjadi orang yang eksak saja, berikan kepada anak didik pengertian bahwa persaingan di masa depan dengan bangsa lain akan jauh lebih kompleks bukan sekedar orang cerdas dan terampil saja yang akan bisa memenangi pertarungan dunia internasional tersebut, akan tetapi kecerdasan sosial - diplomasi, adaptasi dan akhlak - juga akan memberikan nilai yang tidak kalah jauh dari kecerdasan yang selama ini diinput ke dalam mindset anak didik kita, yaitu kecerdasan kognitif semata. Harapan sebagai orang tua dan sebagai warga negara tentunya pemerintah segera memperhatikan hal ini, karena mau tidak mau tongkat estafet kepemimpinan dan pengelolaan negara ini akan jatuh ke generasi berikutnya, kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi. Pertama dan ini mungkin saran kecil dari saya agar mencari bibit unggul manusia Indonesia itu dimulai dari penyempurnaan kurikulum yang ada, kalau perlu penggantian yang drastis dari kurikulum yang ada sekarang, tambahkan dan perbanyak pendidikan agama dan akhlak/budi pekerti di dalamnya, dan kualitas guru tentu perlu peningkatan dari sekedar pengajar menjadi seorang pendidik yang sejati. Satu lagi pemberian hukuman fisik kepada anak didik jangan dijadikan sebuah pelanggaran HAM seperti sekarang ini, sebatas masih dalam hukuman yang mendidik - dijewer, diomelin, distrap yang tidak membahayakan fisik dan jelas para pendidik tahu batasannya - jangan seperti sekarang dilaporkan ke pihak berwajib. Jelas akan menjadikan anak didik menjadi tidak menghargai guru, aturan sekolah dan berbagai hal positif lainnya. Menjewer dan menghukumnya guru bukan seperti menghukumnya pihak berwajib kepada pencuri ayam, itu beda sekali, menghukumnya pendidik adalah bentuk dari pendidikan itu sendiri dan dilakukan dengan kasih sayang dalam bentuk lain. Untuk bekal kepada para anak didik di masa depan. Saya meyakini hal tersebut. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kita semua, sebatas inilah saya bisa memberi sumbangan pemikiran, adapun kalau ada yang lebih baik dan lebih canggih silahkan beri masukan kepada pemerintah untuk kelangsungan cermerlangnya mental dan moral anak bangsa di masa depan.
Terima kasih.