Saya ambil dari kamus online kata pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;
proses, cara, perbuatan mendidik. Nah, yang saya akan bahas adalah tentang pendidikan yang ada pada anak-anak kita terutama dari tahun-tahun kritis kita yaitu mulai adanya reformasi 1998 hingga sekarang. Apakah pernah anda seperti saya yang tidak pernah merasakan, pendidikan yang selalu menjadi tanda tanya setiap tahunnya atau lebih tepatnya setiap "ganti mendikbudnya"? Ya benar yang merasakan itu adalah anak-anak yang lahir tahun-tahun 90an hingga sekarang. Dimana sekolah sudah digratiskan ternyata masih membayar juga, dalih berbagai macam, yang gratis katanya hanya SPP saja yang lainnya sepetri uang gedung, uang administrasi dan dana-dana lain tetap harus ditanggung orang tua siswa. Ada perubahan nama yang sebenarnya tidak ada manfaat yang siginfikan dari SMA menjadi SMU kemudian menjadi SMA lagi, ini yang menjadikan pendidikan kita itu tidak pernah maju, hanya sekedar mengurusi sesuatu yang tidak pada intisarinya. Pendidikan bukanlah sebuah sesuatu yang instan atau mungkin karena menyadari bahwa pendidikan bukan sesuatu yang instan itulah maka dilakukan berbagai macam cara dengan cara "trial and error", untuk membangun dan membentuk sebuah peradaban kok dengan "coba-coba", tidak heran pendidikan kita kehilangan makna. Benak-benak anak didik tidak dibesarkan jiwanya, tapi dibuat sedemikian rupa bahwa orang yang cerdas adalah orang yang nilai akademisnya tinggi, nilai matematikanya sepuluh, bahasa inggrisnya sembilan dan sebagainya dan dilain pihak mereka tidak menyadari bahwa manusia itu bukan seperti komputer, semakin tinggi prosesornya semakin tinggi nilainya. Manusia bukan hanya sekedar pandai, pintar saja, manusia ada aspek lain yang tidak sama dengan komputer, yakni ahlak dan adab. Karena pendidikan kita selama ini disamping coba-coba juga sangat sekuler dan tidak menumbuhkan jiwa wira usaha pada anak didik kita. Dan yang saya lebih prihatinkan adalah tidak adanya ahlak yang baik, tidak ada adab yang baik - walaupun tidak semuanya tapi sebagian besar dan kalau saya hanya mengatakan ini output (hasil murni pendidikan sekolah-sekolah bahkan perguruan tinggi kita) - pada anak didik kita secara umum, bila hanya hasil dari kurikulum yang pernah ada. Karena pelajaran ahlak dan budipekerti tidak ada dalam semua kurikulum yang dikeluarkan akhir-akhir ini, kalaulah ada (saya tidak tahu) kemungkinan besar jamnya/sks nya sangat kecil dan sedikit. Bukan salah anak-anak kita, mereka well educated, yang jadi pertanyaannya well educated (tepelajar, berpendidikan), dengan kurikulum yang seperti apa. Tawuran dari SD hingga Mahasiswa. Ini fakta, dan tidak ada solusi yang baik melainkan mengorangkan orang. Anak didik itu manusia, bukan komputer yang dengan sesuka hati tanpa memperhatikan kebutuhan jiwanya diisi progam-program yang pengajar dan pendidik inginkan. Menurut saya apapun kurikulumnya besarkan jiwa anak didik dahulu barulah cerdaskan mereka. Jadi anak sudah mempunyai adab dan ahlak yang baik, tidak cerdaspun dia akan menjadi manusia yang berguna, apalagi setelah itu kognisinya diisi dengan baik, dia sudah cerdas dan berakhlak baik, ini yang namanya well educated. Dan dengan adanya manusia berakhlak baik dan berotak cerdas, kemajuan bangsa ini tidak akan begitu lama. Ahlak baik disemua lini, semua bidang. Untuk pendidikan akhlak dan budipekerti ini memang yang paling sulit, sebab ia perlu keteladanan dan contoh kongkrit yang bukan sekedar tampak luar dari para pendidik, contoh nyata di kehidupan sesungguhnya. Dan ini menurut saya adalah hal yang sangat mendasar, dari berbagai aspek para pendidik yang kita sebut guru/dosen haruslah manusia super dan mulia. Dan tidak ada manusia super dan mulia, tapi setidaknya harus ada perubahan dalam kurikulum, standar ahlak pendidik, standar kecerdasan pendidik, aturan untuk pengelolaan tempat pendidikan (dengar-dengar APBN sudah 20% kah anggaran nya) yang memungkinkan pendidikan gratis sampai SLA. Daripada dikotak-kotakkan dengan bidikmisi dan berbagai macam kartu yang ternyata itu kadang "melukai" perasaan orang tua anak didik. Saya termasuk yang merasa terluka dengan pernyataan yang ada, bahkan bantuan beraspun ada ditulis di depan rumah sebuah stiker, dan itu melukai perasaan saya. Tapi itu aturan dengan berat hati saya tempelkan. Tapi untuk anak-anak saya mengapa saya harus terluka ? Saya yakin semua orang tua dengan kondisi seperti saya sedangkan persyaratan dari pemerintah untuk membantu kita memang harus "ditunjukkan" keadaan dan jatidiri kita itu, walaupun sekali lagi itu termasuk melukai perasaan. Dan pendidikan di Indonesia memang sangat komersil. Padahal dari APBN sudah begitu besar alokasi dananya. Tanggung jawab siapakah ini ? Jelas tanggung jawab pemerintah terutama departemen pendidikan dan kebudayaan (DepDikBud).
KEADAAN YANG ADA TAPI JANGAN DISEBUT SEBAGAI SEBUAH KRITIK, HANYA SARAN.
Yang saya takutkan dari kata kritik adalah orang atau badan yang dikritik pasti menanyakan SOLUSINYA. Sebenarnya enggak salah tapi itu kan memang sudah menjadi tanggungjawabnya mencari cara dan solusi, lha dia yang kerja, dia yang digaji mengapa solusinya meminta kepada orang lain. Tapi orang lain itu yang mengetahui kelemahan dan kekurangan atau setidaknya merasakan hasil kerja dari orang/instansi tertentu. Dalam hal ini adalah orang dan instansi yang berkecimpung di dunia pendidikan. Saya ingin melihat rata-rata presentase pendidikan di negara-negara di ASEAN saja. Indonesia paling banyak sarjana nya apa mana, terus bagaiman presentase rata-rata orang-orang terdidik (sarjana) dibandingkan dengan seluruh rakyat Indonesia. Saya mengambil dari sumber ini, (www.dw.com). Indonesia berada jauh dibawah Singapura, nomor 5 dari 10, kalau dilihat Indonesia adalah negara paling besar dan paling tua dari semua negara di ASEAN dan memang sangat layak menjadi pemimpin ASEAN, tapi sekarang hanya nomor 5 indeks pendidikan kita. Merdeka suda 72 tahun, dan masih belum sadarkah tentang pentingnya pendidikan di bangsa ini ?. Saya ingin mengatakan ini, tapi jangan disebut sebagai sesuatu yang serius atau kritik apalagi bully dan hate speech. Sekolah di Indonesia itu anak-anaknya tidak nyaman pergi ke sekolah (saya belum survey tapi itu yang anak saya keluhkan, enggak tahu kalau anak anda, barangkali sama??), apa yang mereka pikirkan kok sekolah seperti sesuatu yang tidak menyenangkan ? Padahal itu adalah tempat dan lembaga yang akan menjadikan dia sebagai "ORANG" yang terdidik ? Terjadi ketika mulai masuk SD atau sederajat, ketika PAUD dan TK mereka sangat menikmati sekolahnya, mereka ditanya mengapa tidak mau libur, padahal kamu sedang tidak enak badan ? saya ingin sekolah, itu kata anak TK dan PAUD. Entahlah anak anda, ada terjadi perubahan atau tidak ketika dia melanjutkan ke SD. Setelah saya tanyakan kepada mereka anak-anak saya mengapa mereka begitu enggan ? rupanya karena belum mengerjakan PR. Kalau saya pun mengeluhkan tentang PR ini, membuat anak tidak lagi sempat untuk bermain dengan lepas, PR kalau hanya satu atau dari satu guru barangkali tidak masalah, yang menjadi masalah adalah banyaknya PR dari berbagai bidang studi, itu bukan jamu atau obat, tapi beban pikiran yang dibawa pulang kerumah bahkan beban pikiran yang membuat anak-anak tidak bisa bermain lepas karena masih ada ganjalan PR. Sekali lagi ini terjadi pada anak saya saja, waktu mereka masih SD. Nah bagaimana saya bisa protes kalau kurikulumnya memang mengharuskan demikian ? Apakah ada yang setuju dengan dihilangkannya PR ? Kalau saya setujunya dengan jumlah dan berbagai macam hukuman bagi yang tidak mengerjakan PR itu boleh direvisi kembali. PR yang wajar membuat anak senang pergi ke sekolah. Soal PR saya rasa harus diperbaiki kembali tentang jumlah dan hukuman, penilaian serta kesadaran anak dalam mengerjakannya.
Kemudian, pelajaran sekarang adalah sangat kompleks dan jumlahnya banyak sekali sementara guru sudah pada bidang studi masing-masing, dan kalau saya berkelakar sekolah di Indonesia ini memang untuk menciptakan mister segala tahu (Mr. Know Everything), bukan menciptakan spesialis atau maestro. Sekali lagi ini pendapat saya pribadi. Karena pengalaman saya pelajaran SD sekarang itu sama dengan pelajaran SMP saya tahun 2000 an, bagi anak yang mampu mengikuti memang tidak ada permasalah, tapi bagi kebanyakan anak akan menjadikan sekolah sekali lagi tidak menyenangkan, tidak nyaman. Belum lagi dari semua bidang studi - sementara pengajarnya hanya satu bidang studi saja - harapan mereka semua bidang studi pelajaran adalah nilai sempurna. Ini memang menciptakan orang yang diperas otaknya habis-habisan. Dan setelah kuliah apakah semua yang diberikan secara kontinyu di pendidikan sebelumnya digunakan ? Renungkanlah sendiri. Dan yang menjadikan anak-anak tidak betah untuk sekolah karena mutu dari sekolah dan mutu terkait erat dengan biaya pendidikan. Kalau mau membicarakan biaya pendidikan yaitu tadi, sekolah kita yang seharusnya bisa gratis, malah masih mahal dan kalau mau gratis harus membuang perasaan luka anda, dengan berbagai stiker, berbagai kartu yang diberika pemerintah, dengan surat pernyataan tidak mampu dan survey-survey yang mengikutinya. Jadi apakah dengan begitu banyaknya bidang studi dan kelak sebagian besar tidak dipakai ketika kuliah - kehidupan yang sebenarnya - apakah masih mau dengan pelajaran yang begitu banyak menjadi mister segala tahu waktu SMA ketika kuliah malah MULAI DARI NOL LAGI ? Jadi ada semacam "pengulangan"yang tidak perlu kalau saya lihat. Pengulangan kalau hal yang menyenangkan akan membekas di benak dan otak kita, tapi kalau pengulangan yang tidak menyenangkan pastilah akan ada penolakan dari penyimpanan memori di kepala kita, tepatnya kejenuhan.
Setelah berjibaku dan all-out di sekolah lanjutan tingkat atas, apakah anak-anak kita sudah aman, sekalipun yang masuk ke SMK ? Belum aman dan bahkan anak-anak kita masih mentah - kalau SMK lebih mendingan karena memang sudah dijuruskan ke pekerjaan tertentu - belum tahu ke mana arah yang akan dituju dan ke universitas mana yang akan dituju - lagi-lagi pertimbangan NILAI dan BIAYA - karena kita tahu, nilai dari berbagai mata pelajaran yang banyak begitu dan harus bagus, dan biaya yang tidak bisa dikatakan murah - atau malah dia akan bekerja. Nah lapangan pekerjaan apakah sekarang mudah ? Sementara produksi tenaga kerja (maaf mentah kalau yang masih SMA dan tidak kuliah), begitu banyak, kita bukan memproduksi pengusaha tapi memproduksi tenaga kerja, ini PR besar dari instansi pendidikan, yang harus segera diselesaikan karena waktu berjalan terus. Tidak usahlah mengatakan hal yang ekstrim seperti di daerah terpencil, daerah yang dengan fasilitas lengkap saja masih mengalami hal yang kurang lebih sama, karena ini adalah persoalan mendasar dari pendidikan kita. Dan saya yakin sekali para pejabat yang berwenang mengatahui hal ini dan mencari formulasi yang tepat untuk menyelesaikannya. Terutama tentang spesifikasi dan mutu dari pendidik, kemudian kurikulum yang efisien dan efektif untuk membesarkan jiwa dan kepribadian anak. Bukan saya menonjolkan pendidikan di pesantren, tapi dari lembaga ini tumbuh santri siap guna, begitu tamat dari pondok pesantren rata-rata mereka sudah tahu dan tidak bingung akan kemana. Dan menghasilkan pengusaha, minimal mereka bisa langsung terjun ke masyarakat. Kalau kurikulum kita "mengambil" sedikit dari pesantren saya rasa masuk akal, dan itu jelas ada ahlinya, mengapa out-put dengan umur dan derajat pendidikan yang sama, bisa berbeda hasilnya.
Jangan sampai terkesan bahwa sekolah kita masuknya sulit, pelajarannya sulit dan setelah keluar dari sekolah/kuliah pun kesulitan lagi. Kapan bahagianya anak didik Indonesia. Tentu semua itu harus secara cepat atau bahkan sangat cepat - darurat kalau saya bilang - segera diselesaikan, kami berharap banyak kepada pemerintah untuk mengetahui hal mendasar ini. Karena pendidikan adalah penghasil aset sumber daya manusia di masa yang akan datang. Sementara di ASEAN saja kita masih nomor 5, bagaimana dengan di urutan DUNIA ? Buka sebuah aib untuk belajar dari negara yang lebih maju dunia pendidikannya, kalau mau belajar carilah dari yang terbaik. Tak ada solusi dari saya, hanya harapan untuk kebahagiaan dan keberhasilan anak didik kita di masa-masa yang akan datang. Dengan mengatakan semoga sekolah kita ketika masuk dimasuki dengan mudah, pelajaran dan pendidikannya menyenangkan, setelah tamat mereka menjadi manusia terdidik dan berakhlak baik, sebagai SDM yang bermutu tinggi.